Sabtu, 21 Maret 2015

Teater tak sekedar pementasan

Setiap manusia memiliki kepentingan yang berbeda. Mereka bergerak atas dasar logika dan keinginan yang memuncak untuk menwujudkan segala impian dan cita-cita. Namun tak jarang dari segelintir kepentingan merusak naluri dan akal sehatnya.




Komunitas teater Rondjong bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Yogyakarta menyuguhkan sebuah edukasi dalam bentuk teater beraliran realis dengan judul "Jurang" yang digelar di Gedung Societed Taman Budaya Yogyakarta pada tanggal 19-20 Maret 2015. Luar biasa, mereka mampu mengemas sebuah cerita yang diangkat dari kehidupan sekeliling kita, dan disajikan dengan penuh pembelajaran kehidupan. Bahwa manusia adalah tempat tertanam besarnya ego, satu sama lain tak mau terkalahkan untuk mengejar ambisi. Bahkan rasa kemanusiaan pun kadang terkikis oleh kerasnya kehidupan. Dilakoni oleh salah satu sutradara anak bangsa, Hanung Bramantyo, teater ini menjadi rebutan penikmat pentas drama. Tapi sayang, jika para penonton hanya melihat dari sisi Hanung, teater butuh penghargaan lebih. Ia ada bukan hanya karena sekedar hiburan semata, seni dan nilai kehidupan yang ditonjolkan dalam setiap pementasan ini perlu apresiasi lebih dari kita.  

Bercerita tentang berbagai karakter manusia yang masing-masing punya kepentingan yang tak seragam. Keseragaman hanya ada pada ambisi untuk menang dan mengalahkan lawan. Tak pandang ia kawan, sahabat bahkan saudara. Ada satu dialog yang terekam kuat pada ingatan saya, ketika dua tokoh penting dalam teater tersebut bersiteru perkara pemecahan sebuah masalah yang belum berujung hingga hari petang, sehingga salah satu dari tokoh tersebut naik pitam, tokoh sepuh dalam teater tersebut kemudian berkata kurang lebih begini : "Hai anak muda, apa yang kamu tangkap hanya lah sebagian dari apa yang aku katakan. Dan yang engkau lihat hanyalah sebongkah gunung es, hanya sebagiannya saja. Sedangkan bagian terbesarnya ada di dalam dasar, bukan di permukaan." Begitu banyak di luar sana yang sebenarnya tak faham betul dengan apa yang ia katakan dan apa yang ia "perjuangkan" tetapi sebenarnya ia tak mengerti betul apa yang sedang ia lakukan. Dan begitu banyak pula orang diluar sana yang sebenarnya fasih dan mengerti secara mendalam tetapi enggan untuk peduli dengan sesamanya. 

Berbicara tentang nasionalis, kapitalis dan terkikisnya kemanusiaan. Tergambar secara gamblang dalam teater yang disutradarai oleh Agustinus Budi Setianto ini benar-benar menarik peminat teater Yogyakarta. Semoga semakin berkembang teater Indonesia yang sarat akan nilai kemanusiaan seperti ini. Karena teater tak hanya sekedar pementasan yang penuh tepuk tangan riuh, ada nilai yang diangkat dalam setiap gerak tokoh dan dialognya. Apresiasi besar untuk para seniman Indonesia.