Manusia memang hanya menjalankan
apa yang telah menjadi skenario Nya. Berjalan menyusuri hari demi hari, waktu
demi waktu dan menemui hal-hal baru. Termasuk berjumpa dan menjalin silaturahmi
dengan orang-orang yang tak terduga sebelumnya. Menjumpai karakter baru, pemikiran baru dan
segala hal baru yang menajubkan.
Bercerita masa lalu dan masa
kecil dulu, aku terlahir dalam lingkungan keluarga mayoritas perempuan. Mamaku
dan kedua adik perempuanku. Setiap hari penuh dengan kasih sayang dan
kelembutan, tak pernah ada pertikaian bahkan bentakan. Papa pun tak pernah
mendidik dengan keras, dan selalu menunjukan raut wajah damai penuh kesabaran.
Mungkin saja karena kami bertiga perempuan, sehingga Papa berusaha
memberikan pendidikan yang jauh dari didikan “militer” yang biasa diterapkan untuk anak laki-laki. Dan
mungkin saja Papa tak selembut ini jika diantara kami ada saudara laki-laki. Mungkin.
Hari demi hari yang kami lalui di
rumah ternyata membentuk karakter kami bertiga. Pun tak dipungkiri, diantara
kami bertiga memiliki sifat masing-masing. Menurut Mama, aku cenderung pada
pribadi yang ceria supel tetapi juga memiliki sifat keras. Berbeda dengan
adik ke-dua ku, ia cenderung diam dalam segala hal, introvert tetapi penurut.
Dan si bungsu, sejak kecil ia sudah terlihat hiperaktif, tak bisa diam dan tak
bisa berhenti bernyanyi. Tetapi pendidikan dalam rumah memang berperan besar
pada tumbuh kembang kami bertiga, sehingga kemasan kami tak jauh beda antara
satu dengan yang lain. Kami bertiga memiliki sifat dominan, penurut, tak bisa
dibentak, tak suka kekerasan dan cenderung berjalan pada rule yang kami anggap
baik, tak berani keluar dari hal kebaikan itu. Termasuk jika sudah jam 9 malam maka segala aktifitas kami berhenti, meng-off kan percakapan dalam handphone, kembali kerumah secepatnya sebelum jarum jam menunjukkan pukul 21.00. Dan lain sebagainya, begitu Papa Mama mendidik kami.
Hari berjalan begitu cepat,
rasanya baru kemarin tiap pagi selalu mendengar teriakan Mama untuk segera
bergegas mandi, sarapan pagi dan pergi ke Sekolah. Rasanya baru saja itu semua
terjadi. Dan tak terasa hampir enam tahun sudah teriakan Mama tiap pagi hanya
terasa dalam hati. Menjadi sebuah alarm jiwa untuk melanjutkan kedisiplinan
kala pagi datang. Dan dengan segala karakter yang tertanam dari kecil. Terbawa
hingga sekarang sekalipun tak seatap merasakan pendidikan karakter rumah seperti enam tahun silam.
Singkat cerita, karakter ini
terbentuk dan menjadi aku yang saat ini. Hingga pada suatu ketika Tuhan mempunyai
rencana yang tak terduga. Tuhan
mempertemukanku pada seseorang yang memiliki kepribadian jauh dari
keseharianku. Lingkungan keluarga dengan mayoritas laki-laki, pendidikan rumah
yang keras dan extra disiplin, dan mungkin hampir mendekati pendidikan militer.
Aku memanggilnya “abang, mas, aa” begitulah. Entah apa rencana Tuhan,
pertemuanku dengan beliau ternyata membawa banyak perubahan pada pemikiran dan
juga karakterku. Ia mengajakku menyusuri kehidupan dalam batas yang berbeda,
bahwa hidup tak hanya sekedar baik dan buruk. Hidup perlu dimaknai lebih dari
itu. Karena di dalam kebaikan bisa jadi menyimpan keburukan dan di dalam
keburukan mungkin menyimpan kebaikan.
Perkataannya tak pernah terdengar
lembut. Garis muka tegas dan kata-kata beliau yang keras membuatku tak memahami
apa yang didapat dengan kepribadian seperti ini. Berhari-hari aku dibingungkan
dengan sifat-sifat baru dan pemikiran baru.
Dan aku, berusaha menyusuri lapis
demi lapis apa yang Tuhan berikan melalui beliau yang kukenal tak terprediksi
ini. Tak jarang kami berdiskusi tentang kehidupan dan esensi dari hidup. Cukup
berat obrolan bersamanya, tetapi aku menikmati. Aku menemukan ilmu baru yang
tak pernah kudapatkan sebelumnya. Banyak pelajaran yang beliau berikan.
Ternyata selama ini aku salah jika
berfikir keras itu tidak baik. Ternyata selama ini aku terjebak pada pemikiran
ku yang dangkal untuk memaknai kehidupan. Aku memandang bahwa segala yang
terlihat tak baik itu seratus persen tidak baik, dan yang terlihat baik itu
jaminan baik dalam segala hal. Dan ternyata ini salah. Perlahan beliau
menyadarkan ini padaku. Dan aku, perlahan mulai membuka pikiranku.
Entah apa yang ada dalam benak
beliau, sehingga begitu peduli akan diriku yang bukan siapa-siapa nya bahkan
terbilang baru saja kami saling mengenal. Tetapi satu hal yang menjadi
keyakinanku, segala yang terjadi di muka bumi ini tak ada satu pun yang
berjalan tanpa kehendak Nya. Termasuk pertemuanku dengan beliau yang tak
terduga, sangat tak terduga.
Jika berbicara dengan menggunakan
akal, akal pun tak menemui titik temu apa rencana Tuhan dibalik semua ini. Jika
mencerna menggunakan hati, rasanya diperlukan kemurnian dan ketulusan yang
hakiki hingga menemui jawabannya. Dan jelas, aku masih berproses dan masih jauh
dari kata murni dan tulus.
Perbedaan karakter yang sangat jauh ini ternya membawa pengaruh untuk ku. Aku mulai mengerti apa itu keras dan
apa itu ketulusan dibalik kerasnya sifat seseorang. Aku menemui banyak hal baru
setelah bertemu dengan beliau. Hal yang tak kujumpai diantara teman-teman sebayaku,
guru-guru sekolah ku dan bahkan lingkungan terdekatku. Hal baru yang membentuk
pola pikir baru untukku, untuk tidak menilai segala sesuatu hanya dari apa yang
nampak oleh kasat mata, tetapi melihat apa yang di depan mata menggunakan
ketulusan hati. Hati terdalam yang tak pernah menipu. Hati yang selalu berkata
benar, tak pernah berkalkulasi dan tak pernah menimbang secara materi.
Betapa bersyukurnya aku mengenal
beliau. Dan betapa bersyukurnya aku, Tuhan mengijinkanku bertemu dengan
seseorang yang membawa perubahan untuk ku.
Aku, yang masih tak mengerti apa
rencana Tuhan untuk ku.