Sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Saat ia masih
menikmati masa-masa bermain, penuh canda dan tawa. Belum ada teriakan untuk
segera mengerjakan tugas sekolah ataupun belajar untuk persiapan ujian. Namanya
DENISA, seorang anak cerdas dan selalu ingin tahu. Tak ada aliran darah setetes
pun memang antara aku dengan nya. Tapi kedekatan kita berdua layaknya kakak dan
adik tanpa sekat, atau mungkin lebih dari itu. DENISA anak pertama bapak kost,
dimana tempatku beristirahat dan melepas penat sejak awal memasuki kota pelajar
ini hingga saat ini. Ruangan berukuran 4,5x3 itu memberikan kenyamanan yang
luar biasa, selalu memberi inspirasi tersendiri.
Foto itu, tiga tahun yang lalu. Kala DENISA masih sering
mengetuk pintu kamarku dan memanggil-manggil namaku seakan kita layaknya teman
bermain sebaya. Tak jarang ia menugguku di balkon depan kamar hingga pulang
kuliah. Teramat dekat memang. Ketika adzan terdengar, ia dengan lantang
mengajak ku untuk segera mengambil wudhu dan sholat berjamaah berdua, hanya aku
dan DENISA. Entah karena ia ingin bermain air, atau memang Tuhan memberikan
kepekaan rohani padanya. Dikala sholat, ia terkadang mengikutiku komat-kamit
membaca doa. Dan bersyukurnya, ia hafal surat-surat pendek dengan gerakan
sholat yang pantas diacungi jempol untuk anak seusianya. Menjadi rutinitas kami
berdua saat itu, jika selesai sholat kami membaca ayat suci Al-Quran. Tanpa
kuminta dan tanpa aba-aba apapun dariku, dengan sigap ia segera mengambil
Al-Quran dan Iqra’ dari atas meja belajar. “Yang ini buat mbak putri” ia
memberiku Al-Quran bersampul ungu kebiruan itu. Kubalas dengan senyum dan kita
mulai mengaji. Disanalah aku merasakan betapa Tuhan tak pernah melewatkan
setitik bagian terkecil dari kehidupan. Termasuk anugrah yang luar biasa tak
terkira, yaitu seorang anak. Betapa bahagianya ketika Tuhan memberi kepercayaan
untuk satu hal ini. Dan betapa bersyukurnya kita dilahirkan dari orang tua yang
tak lelah mendidik dan membesarkan kita. Sudah, hentikan, cukup sampai disini
saja, pembahasan orang tua dan anak selalu berakhir pada butiran air mata.
Seolah tak ada yang dapat menggantikan kasih sayang mereka, sungguh tak akan
pernah ada.
Kembali pada cerita DENISA. Ia sekarang tumbuh menjadi anak
yang pintar. Waktu bermain dan mengunjungi ruangan penuh inspirasi itu sudah
jarang ia dapatkan. Kenaikan level pendidikan membuatnya harus belajar akan
tanggung jawab. Dan ia berhasil melewati tanggung jawab itu dengan predikat
sangat memuaskan. Di Sekolah Dasar tempat ia bersekolah saat ini, tak pernah
sekalipun terlewatkan dari peringkat pertama. Bangga, tak ada kata lain. DENISA, ia pun berhasil mengemas cerita tiga tahun lalu itu menjadi sebuah kenangan manis. DENISA, ia bocah pilihan Tuhan.